Tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi Dalam UU Pers

Artikel666 views

Oleh : Nurzaman Razaq 

SEJUMLAH kasus delik pers di negeri ini telah banyak terproses pidana di kepolisian dan kejaksaan hingga di pengadilan, yang berujung tindak pidana pencemaran nama baik seseorang.

Sebut saja dua contoh kasus delik pers atas dugaan pencemaran nama baik, pertama yang dilakukan Ridwan alias Wawan salah satu media online Makassar kepada Bupati Enrekang, Muslimin Bando yang berujung pada vonis 8 bulan penjara, denda Rp5 juta jo subsider 2 bulan penjara, 21 /06/2021 lalu.

Kedua, kasus delik pers jurnalis Berita.News Muhammad Asrul dengan tuduhan dugaan pencemaran nama baik terhadap Farid Kasim Judas, salah seorang pejabat di Kota Palopo, yang perkaranya hingga awal oktober 2021 ini dalam proses penuntutan pidana di Pengadilan Negeri Palopo, dengan tuntutan 1 tahun penjara.

Kedua kasus delik itu, terjerembab dalam perkara UU ITE yang diterapkan pihak penyidik kepolisian setempat. Dari kedua contoh kasus itu dari sekian banyak kasus delik pers, dalam perkaranya kebanyakan disoal tentang tidak adanya Hak Jawab dan Hak Koreksi dari pihak pelapor.

Meski diketahui, penerapan pasal 45 ayat 1 jo pasal 27 ayat 3 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sering pula disoal yang dianggap penyidik/jaksa keliru dalam menafsirkan subyek hukum dalam perkara, seperti dalam kasus Hasrul.

TENTANG HAK JAWAB DAN HAK KOREKSI.
Terkait soal Hak Jawab yang seharusnya dilakukan pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya (pelapor,red) terhadap pemberitaan jurnalis, dan sering dipersoalkan pula berbagai kalangan adanya keengganan pihak pelapor melakukan hak jawab dan hak koreksi.

Padahal hak jawab dan hak koreksi memang diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers pada pasal 5, Pers wajib melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi.
Terlepas dari kedua kasus pencemaran nama baik itu, masalah penerapan UU Pers dalam persoalan delik pers, sampai saat ini belum ada jalan keluar yang dapat menuntaskan penyelesaian sengketa pers akibat pemberitaan pers. Karena mekanisme yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam menyelesaikan masalah akibat pemberitaan pers selain belum memuaskan, juga masih diperdebatkan.

Di satu sisi kalangan pers menginginkan supaya kekeliruan dan atau kesalahan yang terjadi dalam pemberitaan pers diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai ketentuan UUPers. Tapi pada sisi lain aparat penegak hukum umumnya cenderung menerapkan pasal-pasal perdata dan pidana karena pengaturannya dalam UUPers dianggap belum dan atau tidak lengkap.

Menurut RH Siregar, mantan Wakil Ketua Dewan Pers, mekanisme penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers masih diperdebatkan karena� ada pendapat yang mengatakan bahwa mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi menurut UUPers tidak mengikat.

Mekanisme itu hanya mengikat pihak pers sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan (3) UUPers yang mewajibkan pers melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sedangkan pihak di luar pers sama sekali tidak terikat untuk melaksanakannya. Sebab yang namanya �hak�, maka tergantung yang bersangkutan apakah akan mempergunakan haknya atau tidak.

Demikian juga beberapa pertimbangan hukum majelis hakim mengatakan, bahwa pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi tidak menyebabkan hilangnya gugatan perdata dan tuntutan pidana. Oleh karena itu tidak bisa dipaksakan supaya anggota masyarakat lebih dulu menempuh mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UUPers, sebelum menempuh proses hukum apabila terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam pemberitaan pers.

Lagi pula kalangan masyarakat sering mengeluh mengingat pelaksanaan Hak Jawab kurang memuaskan. Di samping itu, juga tidak efektif karena penempatan Hak Jawab sering kurang proporsional dan terlambat termuat.Soal kemudian ada koreksi dan atau pelurusan berita, itu urusan nanti. Cara-cara inilah oleh berbagai pihak dikualifikasi sebagai character assassination atau pembunuhan karakter.

Memang harus diakui, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh UUPers masih menjadi masalah, karena kedua hak itu yang tadinya merupakan norma etik menjadi norma hukum. Sebelum kedua hak itu ditetapkan menjadi norma hukum, maka sebagai norma etikï dengan dilaksanakannya Hak Jawab dan Hak Koreksi, penyelesaian masalah telah dianggap selesai.

Akan tetapi dengan ditetapkannya Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai norma hukum dalam hukum positif, maka penyelesaian masalah menurut norma etik tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara hukum sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPers.

RH Siregar menjelaskan, bahkan sebenarnya dengan dimasukkannya Hak Jawab dan Hak Koreksi menjadi ketentuan hukum positif sangat memberatkan pers karena UUPers menetapkan apabila pers tidak melaksanakan Hak Jawab diancam pidana denda maksimal Rp. 500 juta. Padahal sesuai ketentuan kode etik, apabila Hak Jawab tidak dilaksanakan dikenakan sanksi moral, namun sanksi itu berubah menjadi pidana sekalipun berupa denda.

Pembentuk UU Pers sendiri dalam hal ini, sebenarnya tidak adil, karena kalau Hak Jawab sudah dilaksanakan oleh pers sebagaimana mestinya, tidak ada imbalan atau kompensasi dengan menyatakan tertutup kemungkinan mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan.
Dengan demikian, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh UUPers tersebut menjadi kurang efektif. Sebab, tidak ada kewajiban kalangan masyarakat untuk menempuh mekanisme dimaksud.

Di sini terasa sekali pembentuk UU Pers bersikap mendua (ambivalen). Kalau pembentuk UU mau fair, makaï seharusnya tidak hanya pers yang wajib melayani Hak Jawab, tapi masyarakat juga wajib menempuh mekanisme Hak Jawab apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam pemberitaan pers.

DISAYANGKAN
Yang disayangkan berbagai komunitas insan jurnalis dalam kedua kasus tersebut di atas, seharusnya pihak polisi tidak serta merta melakukan penangkapan kepada keduanya. Karena keduanya merupakan penulis berita yang ada di media online. Perlu dipahami polisi bahwa antara PWI dan Polri sudah melakukan MOU mengenai sengketa pers harus memakai UU pers bukan UU ITE atau KUHP.

Menurut H.Zulkifli Gani Ottoh, SH, Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat, mestinya pihak kepolisian berkordinasi dengan pihak PWI yang ada di daerah soal wartawan yang dipermasalahkan mengenai tulisannya, “karena mengenai tulisan dipermasalahkan maka polisi lebih mengutamakan UU pers (Lex spesial) dibanding UU ITE atau KUHP,” terangnya.
Harapan PWI kepada pihak Pemkab Enrekang, kata mantan Ketua PWI Sulsel ini, agar melakukan pendekatan secara persuasif dan pihak Polisi harus mengedepankan delik pers tersebut, “kami minta agar Wawan itu dilepaskan, kami tidak mau ada kriminalisasi wartawan,” tegasnya pada komentarnya soal Wawan kepada Berita Bersatu beberapa waktu lalu.

DISIKAPI DENGAN BIJAK
Dalam menyikapi masalah sengketa pers itu yang terkait atas tuduhan yang di alamatkan kepada jurnalis, tentu kita berharap pihak penyidik bijak dalam penerapan hukum, yang tidak serta merta langsung men-tersangka kannya dan menahannya dengan dugaan pelanggaran pencemaran nama baik.

Kita pun harus bijak menghormati tugas kepolisian, memgingat segala bentuk pengaduan dan atau laporan masyarakat, wajib baginya untuk tetap melayaninya. Selanjutnya, dilakukan proses penyelidikan dengan memeriksa saksi-saksi, pengumpulan bukti-bukti. Dalm hal ini, dalam proses penyelidikan itulah, pihak penyedik akan menentukan berdasarkan hukum, apakah berita ini sudah berimbang, akurat dan tidak bernuansa beritikad buruk, berdasarkan UU Pers dan KEJ, selanjutnya diikuti penerapan KUHP.

.Dalam sengketa seperti itu, kita berharap pihak Dewan Pers turun tangan menyelesaikan sebagaimana fungsinya memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan, sebagaimana tercantum pada Pasal 15 ayat d UU No,40 tahun 1999 Tentang Pers.

Selanjutnya, tentu akan lebih baik adanya pihak dari pemimpin redaksi dan atau keluarga, kerabat melakukan mediasi langsung kepada pelapor, untuk mewakili terlapor dalam penyelesaian masalah secara internal, bersilaturahim sekaligus bermusyawarah.Mungkin hal ini akan lebih bijak dan arif dilakukan, ketimbang meminta Ka.Polres dicopot.

Memang sangat disayangkan, pejabat publik yang enggan dikoreksi dan dikritik oleh pers. Mengingat Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya berdasarkan pada pasal 6 KEJ; memenuhi hak masyarakat untu mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Azasi Manusia serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, dan melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan sasaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dan kedepannya sebagai saran saja, dalam kasus sengketa pers, hendaklah kiranya pihak kepolisian tidak serta melakukan penangkapan dan atau penahanan terhadap jurnalis sebelum melakukan pemeriksaan detail atas laporan delik pers.

Megingat kasus seperti itu, merupakan kasus yang sepatutnya mengedepankan asas praduga tak bersalah. Lebih lanjutnya, jika memungkinkan, mengedepankan pertimbangan kemanusiaan dengan menelaah, mencermati serta mengajukan pertimbangan kepada Dewan Pers dan PWI, apakah yang dilakukan jurnalis itu, termasuk karya jurnalis dan telah sesuai dengan UU Pers dan KEJ.

Tentu Dewan Pers sebagai fungsi dan perannya, akan memberi petunjuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum untuk menjadi telaah dan dasar dalam menindaklanjuti dan atau hanya sekedar wajib lapor.

Sekiranya atas pertimbangan Dewan Pers, bahwa itu bukan karya jurnalistik dan bertentangan dengan kaidah UU Pers dan KEJ, tentu menjadi kewenangan penuh pihak kepolisian menindaklanjutinya secara pidana. Dan jika ada pertimbangan Dewan Pers yang mengatakan itu telah masuk sebagai karya jurnalistik, maka pihak penyidikpun merujuk pada kaidah UU Pers dan KEJ.

Dan disitulah kemungkinan dilakukan penahanan agar pihak terlapor tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi perbuatan yang sama selama proses pemeriksaan.

*) Penulis adalah  Sekertaris Aliansi Media Jurnalis Independen (AMJI) RI Kabupaten Sinjai/ mantan Wakil Ketua PWI Sulsel.