HEADLINESRIWIJAYA.COM
Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah mulai melakukan koordinasi terkait kesiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Meski demikian langkah yang diambil tentu penuh risiko, jika protokol kesehatan tak diindahkan. Warning ini pun disampaikan Ombudsman dan DPD RI.
Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar mengatakan pelaksanaan Pilkada tidak bisa ditunda, untuk menghindari kekosongan pimpinan pejabat di daerah. ”Tidak ada opsi lain, banyak jabatan yang akan berakhir pada Februari 2021, menunda Pilkada tentunya akan menghambat penyelenggaraan pemerintah daerah,” terangnya pada rapat sarasehan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan tajuk Sinergi Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah, Selasa (2/6).
Meski demikian Bahtiar memastikan Pilkada serentak akan menggunakan protokol kesehatan pada setiap tahapan Pilkada guna mencegah penyebaran infeksi Covid-19. Pemerintah daerah diminta untuk menyesuaikan kondisi dan menciptakan tatanan normal baru yang produktif dan aman bagi masyarakat.
”Kita harus tetap optimis bahwa kita mampu menghadapi pandemi Covid-19 ini bersama. Mendagri sudah mengadakan Lomba Inovasi dan Gagasan Pemda dalam menyiapkan tatanan baru yang aman. Kemendagri juga telah menyusun buku pedoman manajemen penanganan Covid 19 dan dampaknya bagi Pemda,” tambahnya.
Selanjutnya Kemendagri akan melaksanakan kunjungan kerja ke beberapa daerah untuk memberikan semangat serta apresiasi terhadap inovasi Pemda yang telah bekerja keras menghadapi pandemi Covid-19 ini. ”Alhamdulillah di tengah Pandemi Covid-19, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tetap terjaga, ini terlihat dari stabilitas negara yang harus tetap kita jaga,” jelasnya.
Sementara itu, Anggota Ombudsman Republik Indonesia Adrianus Meliala meminta penyelenggara pemilihan umum untuk memperhatikan sisi abnormal dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di masa normal baru.
”Kami melihat bahwa pelaksanaan pilkada itu akan berlangsung dengan ketentuan dan anggaran yang normal, padahal situasinya abnormal. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi sumber permasalahan maladministrasi yang akan mengganggu kualitas daripada Pilkada tersebut,” ujar Adrianus dalam konferensi pers daring dari Kantor Ombudsman RI, di Jakarta.
Adrianus mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 belum mengatur teknis pelaksanaan pilkada menurut aturan protokol kesehatan. Dalam Perppu 2/2020 yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada Senin (4/5), pada ayat 3 mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan diatur dalam peraturan KPU.
Lebih lanjut, ketika KPU mengharuskan agar penyelenggara Pilkada dan masyarakat menggunakan alat pelindung diri (APD), misalnya seperti masker dan sarung tangan, semestinya anggarannya pun jadi meningkat. Namun, pada sisi ini, Ombudsman RI khawatir anggaran pengadaan APD tersebut tidak dijadikan prioritas, sehingga pilkada berlangsung tidak sesuai dengan protokol kesehatan yang ada.
”Ketika itu diharuskan untuk memakai alat pelindung diri misalnya, maka perlu satu regulasi yang cukup. Itulah yang kami katakan sebagai belum ada satu ketentuan yang bersifat khusus padahal situasinya sudah khusus,” kata Adrianus.
Ia mengatakan Ombudsman RI belum melihat adanya suatu terobosan dalam penganggaran bagi kebutuhan perlindungan diri bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan masyarakat untuk menyelenggarakan seluruh tahapan pilkada hingga selesai.
Karena itu, Ombudsman RI menyarankan agar Pemerintah dapat menerbitkan suatu regulasi yang bersifat memadai terkait penyelenggaraan pilkada pada situasi abnormal yang berlangsung saat ini.
Ombudsman RI juga menyarankan Pemerintah dapat memberikan anggaran yang cukup bagi Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, agar kedua lembaga itu bisa mengadakan kegiatan pilkada yang memenuhi protokol kesehatan, terutama dalam pengadaan APD.
Terpisah, Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin mengingatkan KPU agar memperhatikan kesehatan masyarakat jika tetap menyelenggarakan Pilkada serentak di tengah masa pandemi Covid-19. Salah satu pimpinan DPD asal Provinsi Bengkulu ini bahkan meminta KPU bertanggungjawab jika saat pencoblosan Pilkada yang dilakukan Desember mendatang malah menimbulkan klaster baru penularan Covid-19.
”Saya sudah mendengar penjelasan Mendagri bahwa Pilkada nanti dilaksanakan dengan protokol kesehatan, tetapi saya ingatkan tenaga medis yang sudah menggunakan APD saja bisa terpapar,” kata Sultan dalam keterangan tertulisnya.
Mantan Wakil Gubernur Bengkulu ini mengatakan proses Pilkada pasti melibatkan banyak orang, mulai dari calon yang maju beserta tim pemenangnya, masyarakat yang memiliki hak suara, serta petugas pemilihan mulai dari tingkat TPS hingga ke KPU.
Menurut dia, proses Pilkada berjenjang dan melibatkan banyak orang itu memungkinkan timbulnya klaster baru penyebaran Covid-19, yakni klaster TPS, mengingat daya tular virus ini tergolong sangat cepat.
”Pertanyaan saya, siapa yang tanggung jawab nanti. KPU harus siap lho, jadi jangan hanya karena kita mengejar sesuatu yang tidak prioritas, tetapi nanti dampaknya menghantam apa yang kita prioritaskan, yakni sektor kesehatan dan ketahanan sosial. Ini seharusnya menjadi logika berpikir kita semua, sebelum mengambil keputusan,” paparnya.
Sultan menjelaskan prioritas Indonesia saat ini adalah kesehatan dan pangan sebagai penguat sosial-ekonomi masyarakat yang menderita karena dampak Covid-19, terutama di lapisan bawah.
Menurut Sultan, proses demokrasi melalui Pilkada dalam situasi saat ini menjadi tidak mutlak untuk dilaksanakan karena memang masih bisa ditunda, apalagi KPU juga punya simulasi opsi sampai April 2021. Dari sisi anggaran negara, Sultan juga mengungkapkan bahwa semua lembaga negara dan kementerian telah dipangkas oleh Kementerian Keuangan, termasuk anggaran DPD RI yang tahun ini juga sudah dipangkas.
”Ini KPU RI untuk Pilkada dengan anggaran Rp9 triliun malah mengajukan anggaran tambahan Rp535 miliar lebih karena harus membeli alat pendukung protokol kesehatan. Ini kan seperti tidak punya sensitivitas terhadap apa yang sekarang dirasakan rakyat,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika pelaksanaan Pilkada serentak ini tetap dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19, dikhawatirkan jumlah pemilih akan menurun karena banyak yang merasa cemas datang ke TPS. Apalagi, lanjutnya, saat ini masih adanya peluang untuk kembali ke kebijakan pemberlakuan PSBB, bila ternyata konsep normal baru tidak berhasil menurunkan kurva wabah.
”Kami di DPD sudah mengingatkan, bahwa negara saat ini lebih membutuhkan prioritas anggaran untuk pangan dan recovery ekonomi, bukan Pilkada. Karena beda dengan Pilpres yang konsekuensinya apabila ditunda bisa vacum of power,” jelas Sultan.
SUMBER : FIN.CO.ID